Kopi TIMES

Drama Kudeta Partai Demokrat: AHY Untung atau Buntung?

Kamis, 04 Februari 2021 - 20:24
Drama Kudeta Partai Demokrat: AHY Untung atau Buntung? Daniel Deha, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi IISIP Jakarta.

TIMES MAHAKAM, JAKARTA – Dinamika politik tanah air kembali memanas awal tahun ini. Bukan lagi ribut-ribut soal vaksin, tapi kali ini soal kudeta pimpinan partai Demokrat.

Isu tersebut berhembus kencang setelah Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menduga ada pihak-pihak tertentu yang akan merebut paksa kepemimpinannya.

Yang membuat isu ini heboh adalah karena kudeta dilakukan oleh orang-orang di luar Demokrat, bahkan melibatkan pejabat tinggi di lingkaran pemerintahan Joko Widodo.

AHY bahkan sudah mengantongi beberapa tokoh penting yang akan mengkudetanya. Salah satunya adalah orang dekat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ayahnya, yang saat ini menjabat sebagai Kepala Staf Kepresidenan (KSP), Moeldoko.

Sementara yang lainnya adalah kader dan mantan anggota Demokrat, yaitu Marzuki Alie, Muhammad Nazaruddin, Jhoni Allen, dan Darmizal.

Menyeret Jokowi

Berbeda dengan kudeta 1996 yang terjadi di dalam tubuh PDI Perjuangan, kali ini kudeta disebut-sebut melibatkan orang luar partai atau mantan anggota partai.

Namun AHY yang sedang mempersiapkan diri untuk merebut satu tiket pada bursa Calon Presiden 2024 pun merasa terganggu dengan isu kudeta tersebut.

Tanpa berpikir panjang, ia pun melayangkan surat kepada Presiden Jokowi untuk meminta konfirmasi dan klarifikasi terkait dugaan keterlibatan oknum di istana.

AHY mencurigai Jokowi merestui orang-orang di lingkaran pemerintahannya ikut mengganggu kursi pimpinan Partai Demokrat yang didudukinya. Ia menegaskan akan mempertahankan kedaulatan dan kehormatan partai dan tidak sudi bila kekuasaannya diambilalih secara inkonstitusional oleh pihak lain.

Pada titik inilah kita melihat ketidakmatangan politik AHY. Ia terlihat gamang dan gegabah dalam menentukan keputusan politik yang bisa saja menjerumuskannya ke dalam panggung pertunjukan baru yang lebih busuk.

Terseretnya nama Jokowi dalam isu pusaran konflik Demokrat pun dinilai terlalu prematur dan tidak etis. Pasalnya, AHY tidak berupaya menyelesaikan konflik secara internal, tapi mencatut nama orang di luar partainya, terutama Jokowi. Padahal Jokowi tidak memiliki kepentingan apapun dengan partai bentukan SBY itu.

Jika Jokowi bisa melakukannya, maka ia akan mengkudeta kepemimpinan Megawati di PDIP karena ia sudah cukup memiliki basis pendukung. Tapi, ia akan dicap sebagai pengkhianat bila mengkudeta partai yang membesarkannya itu.

Moeldoko sendiri sudah mengakui bahwa ia merupakan salah satu tokoh yang terlibat dalam wacana kudeta kepemimpinan AHY di Partai Demokrat.

Namun ia meminta AHY tidak menyeret Jokowi dalam kasus tersebut. Ia menegaskan bahwa akan menghadapi kasus itu sendirian dan jangan mengaitkannya dengan istana.

Moeldoko yang dikenal cukup dekat dengan SBY pun meminta AHY lebih bijak dalam menyeleksi isu dan menentukan keputusan politik yang tepat untuk menanganinya.

Kita tentu mafhum alasan AHY melemparkan api ke istana dan menuding Jokowi turut bermanuver untuk melemahkan kepemimpinannya. Salah satunya karena ada orang dekat Jokowi yang ingin menjegal ambisi politiknya.

Barangkali AHY terkenang memori masalalu di mana pemerintah Orde Baru cenderung mengintervensi politik partai, tapi dengan Jokowi bukan orang partai, kecurigaan AHY mestinya dipatahkan.

Untung atau Buntung?

Sebagai anak muda dan baru beberapa tahun masuk ke Partai Demokrat, AHY memang tidak memiliki posisi yang kuat di partai itu.

AHY yang terpilih secara aklamasi menjadi Ketum Partai Demokrat dalam Kongres V Partai Demokrat pada Maret 2020 di JCC Senayan, Jakarta, disebut-sebut terlalu ‘dipaksakan’ karena momentum itu dilakukan penuh intrik.

Di Partai Demokrat, masih ada banyak politisi senior yang cukup layak memimpin partai setelah SBY mundur pada tahun 2019 karena faktor usia. Namun sebagai putra bos partai, AHY layak mendapatkan warisan itu mengingat AHY sudah bergerilya di pentas politik sejak terjun menjadi Calon Gubernur DKI Jakarta 2017.

Meski begitu, AHY masih terlalu muda dan ia membutuhkan waktu lebih panjang untuk melakukan gerilya politik dan mematangkan karir politiknya di Demokrat.

Namun dalam teori politik, ada istilah ‘underdog effect’. Teori ini dirintis Rüdiger Schmitt‐Beck (2016) dan menyebutkan ada kecenderungan pemilih untuk mendukung calon alternatif yang diperkirakan akan kalah dalam sebuah kontestasi elektoral.

Efek kalah ini kemudian memunculkan militansi pendukung hingga fanatisme politik untuk memenangkan aktor alternatif tersebut.

Strategi ini pernah dilakukan SBY tatkala lengser dari Kabinet Megawati Soekarnoputri pada tahun 2004 dan pada akhirnya memenangkan Pilpres 2004. SBY kala itu memainkan narasi sebagai orang yang dizalimi oleh Megawati dan pantas dikasihani.

Apakah AHY sedang menerapkan strategi yang sama seperti ayahnya? Kita tidak tahu. Tetapi ada pratanda yang bisa membuktikan manuver politik AHY menggunakan strategi ‘underdog effect’ untuk menciptakan tokoh yang kalah di benak masyarakat.

Salah satunya dengan melemparkan isu kudeta yang sebetulnya terlalu dipaksakan. ‘Kudeta’ pada prinsipnya lebih kepada upaya pengambilalihan kekuasaan dari dalam tubuh kekuasaan itu sendiri, bukan dari luar.

Tapi apakah dengan strategi demikian AHY akan memanen keberuntungan pada Pilpres 2024? Belum tentu. Karena strategi ‘underdog effect’ bisa saja mengalihkan dukungan pada siapa yang ingin didukung untuk kemudian dimenangkan. Bisa saja bukan AHY.

Tapi menarik bahwa isu ini menerpa AHY di tengah memanasnya pembahasan RUU Pemilu oleh DPR, di mana salah satunya menyoroti soal ambang batas presiden. Demokrat tegas menyatakan penolakan ambang batas 20 persen dan mengusulkan nol persen. Hal itu demi melanggengkan AHY untuk maju dalam bursa Capres 2024.

Dengan ambang batas 20 persen, AHY bakal sulit menembus bursa capres 2024, lantaran sejauh ini Partai Demokrat belum memiliki koalisi yang kuat dan cenderung abu-abu. Isu kudeta diharapkan bisa menjadi momentum untuk meraba kematangan politik AHY, atau sebaliknya, bisa menjadi momentum untuk menjegalnya lebih awal.

***

*)Oleh: Daniel Deha, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi IISIP Jakarta.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta :
Editor : Faizal R Arief
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Mahakam just now

Welcome to TIMES Mahakam

TIMES Mahakam is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.