Kopi TIMES

Bahasa Arab Menjawab Tuduhan Radikalisme

Senin, 01 Februari 2021 - 19:05
Bahasa Arab Menjawab Tuduhan Radikalisme Abdurrahman Addakhil, Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

TIMES MAHAKAM, JAKARTA – "Pelajarilah bahasa Arab karena ia bagian dari agama kalian." 

Perkataan masyhur dari Umar bin Khattab ini menjelaskan secara eksplisit perintah mempelajari bahasa Arab kepada pemeluk agama Islam. Walaupun perintah ditujukan kepada muslim, bukan berarti non-muslim tidak berhak mempelajarinya, justru di sinilah kesempatan mereka mengenal budaya Islam.

Sesuai kemunculannya, bahasa adalah produk budaya suatu komunitas manusia. Maka, boleh saja seseorang menafsirkan budaya sebagai identitas suatu kelompok, tapi tidak berhenti dalam arti sempit sebagai alat komunikasi agama saja.

Menurut Teori Generatif Noam Chomsky (1957), bahasa merupakan cerminan dari pola pikir serta kecendekiawanan manusia yang dihasilkan secara baru oleh setiap individu yang dilakukan berdasarkan dan dalam kesadaran manusia. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa memang hasil ciptaan manusia sesuai olah pikirnya, bukan tanpa kehendak.

Melacak adanya pengertian asal bahasa, maka seseorang memiliki perangkat lunak yang mampu mengoperasikan lidahnya berucap dengan bahasa. Secara terpisah, bahasa yang dimiliki seseorang terbagi menjadi bahasa ibu dan bahasa kedua atau asing.

Pembudayaan Bahasa Arab di Indonesia  

Kenyataan di Indonesia, masyarakat menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa asing kedua setelah bahasa Inggris. Secara penerapannya, bahasa asing dan kedua memilik perbedaan makna dan fungsi penerapan.

Penggunaan bahasa asing lebih dominan dipakai hanya dalam lingkup kebutuhan kajian akademis atau sekedar interaksi internasional. Sedangkan, bahasa kedua lebih tepatnya menyasar pemakaian bahasa secara komunikatif. Hal ini biasanya diterapkan di sekolah berasrama atau pondok pesantren.

Di Indonesia, bahasa Arab tersebar seiring datangnya Islam yang dibawakan oleh muballigh atau pedagang dari Arab dan Persia sekitar abad 7, sesuai dengan riwayat masyhur. Kemudian, tradisi ini dilanjutkan oleh lembaga pendidikan berupa pesantren yang menempatkan bahasa Arab sebagai bahasa kedua.

Di pesantren sendiri, implementasi bahasa Arab tidak selalu ditempatkan sebagai bahasa kedua, karena sebagian hanya menggunakannya sebagai alat pemahaman kitab klasik keagamaan. 

Proses pemerolehan bahasa Arab sebagai bahasa kedua atau asing melalui upaya alih kode. Istilah yang sering dipakai untuk pemerolehan bahasa kedua adalah Second Language Acquisition (SLA). Untuk memperoleh bahasa kedua, sama lazimnya memperoleh bahasa ibu meliputi faktor psikis dan sosial.

Dalam hal ini, kans untuk memposisikan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar komunikasi sangat besar seiring penggunannya secara masif di lembaga pendidikan berbasis asrama atau pesantren.

Bahasa Arab dan Radikalisme 

Bahasa Arab menjadi sorotan tajam sejak label radikalisme dan terorisme ditujukan kepada Islam. Hal ini seiring dengan bahasa Arab sebagai bahasa dan budaya agama Islam. Padahal, bahasa tidak melulu mengenai bahasa dan budaya agama.

Dalam sorotan Muhbib Abdul Wahab (2021), posisi bahasa Arab di Indonesia dibedakan menjadi dua: bahasa asing, dan bahasa agama serta budaya Islam. Sebagai bahasa asing, salah satu fungsinya sebagai media komunikasi internasional, sebagaimana telah diresmikan oleh PBB sejak 1973.

Salah satu penyebab kenaikan tingkat radikalisme atas nama agama adalah rendahnya kemampuan seseorang menguasai bahasa Arab sebagai bahasa pengantar ajaran Islam. Sehingga, ia akan mencari jalan alternatif untuk mengkajinya melalui kitab terjemahan tanpa merujuk kepada teks asli. Bukan berarti hasil terjemahan merupakan penyimpangan informasi, justru letak otentik naskah ada dalam interpretasi penulis tersebut.

Tuduhan tak mendasar secara general kepada Islam adalah tindakan nafsu ingin menjatuhkan eksistensi Islam sebagai agama budaya. Ada juga upaya pelemahan bahasa Arab pernah dilakukan oleh penjajah Belanda yang tak suka dengan masyarakat Indonesia religius. 

Perpaduan agama yang mewarnai budaya merupakan bukti penciptaan karakter masyarakat yang beradab. Misal, datangnya Islam yang dibawakan oleh Kiai Ahmad Dahlan di Jogja telah mengubah  kebiasaan masyarakat di sana untuk beralih meninggalkan sesembahan pohon keramat. Tentu ini bertolak belakang dengan tuduhan Islam radikal.

Menurut saya, rencana program Kapolri Listyo Sigit Prabowo, yang mewajibkan anggota Polri untuk mengkaji kitab kuning merupakan langkah tepat apabila benar dijalankan. Walaupun bukan tugas pokok kepolisian untuk mengkaji kitab kuning secara intensif. Namun, demi memberantas stigma agama Islam sebagai dalang radikalisme, setidaknya ada aparat penegak hukum mengerti antara humanis dan bengis.

Penegasan Kapolri Listyo membuktikan bahwa bahasa Arab (kitab kuning) dan Islam memiliki kekuatan spiritualitas perdamaian kemanusiaan, menjadi kekuatan integrasi sosial, dan tidak sekedar menjadi alat propaganda radikalisme dan terorisme.

Dalam fungsi penerapan bahasa Arab, hal demikian bukan mengidentikkan sebagai bahasa agama semata. Tapi, lebih membuka peluang interaksi manusia dalam pergaulan yang membahas secara kompleks; ekonomi, politik, sosial, hingga agama  itu sendiri.

Jadi, tidaklah tepat penghakiman terhadap bahasa Arab yang hanya diakui sebagai bahasa agama Islam, apalagi agama yang dituduh sebagai propaganda perpecahan. Permasalahan serius masyarakat saat ini adalah minimnya keinginan mempelajari ilmu non-lokal, dan terlalu bersemangat menilai sesuatu yang asing sebagai tindakan rasisme.

Ada juga tipe orang yang gagap melihat sesuatu yang asing dan baru. Sehingga mengambil kebaruan tersebut dan meninggalkan identitas lama, bahkan mencaci asal ia ditempa. 

Kembali lagi ke orientasi tulisan ini, masihkah relevan tuduhan Islam sebagai agama penyebar radikalisme apabila sudah memahami betul bahasa Arab dan mengimplementasikannya untuk mengkaji Islam, setidaknya memahami Islam tidak sebatas kitab terjemahan?

***

*) Oleh: Abdurrahman Addakhil, Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta :
Editor : Ronny Wicaksono
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Mahakam just now

Welcome to TIMES Mahakam

TIMES Mahakam is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.